Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email
Rabu, 26 September 2012

Demokrasi Ekonomi


Demokrasi Ekonomi 

A.    Pelaksanaan Demokrasi Ekonomi

Dewasa ini jika ada orang bertanya tentang sistem ekonomi di Indonesia, maka umumnya akan menjawab sistem demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi dipandang sebagai suatu sistem yang dianggap sesuai untuk diterapkan di Indonesia karena sesuai dengan UUD 1945 pasal 33. Tetapi kenyataannya benarkah demikian? Bila kita cermati dari realitasnya banyak pertanyaan dan permasalahan yang berhubungan dengan pelaksanaan demokrasi ekonomi.
Soal demokrasi sudah teramat sering dibicarakan ataupun dibahas. Pada negara yang menghidupkan asas demokrasi, rasanya soal penerapan asas demokrasi itu akan dibicarakan selama orang hidup bernegara. Karena bernegara dan berdemokrasi merupakan kesatuan yang tak terpisahkan.
Namun ungkapan demokrasi itu dari zaman ke zaman secara praktis dapat berbeda, bobot manifestasinya bisa berlainan. Tapi persoalan hakiki yang terkandung di dalamnya tetap sama, yakni persamaan untuk menyatakan hak dan kewajiban sebagai warga negara dalam menentukan pilihan terhadap sistem politik yang ada. Juga pengawasan terhadap unsur-unsur sistem politik demokrasi itu secara terus menerus dilakukan demi kepentingan rakyat.
Hal itu berarti bahwa pemerintah atau unsur-unsur lain dalam sistem politik harus pula merupakan komponen untuk menjalankan demokrasi secara praktis. Supaya dapat menata usaha-usaha yang berbobot demokratis, tentu komponen itu harus dapat dikontrol atau diawasi secara terus-menerus oleh rakyat sebagai pihak yang memberikan kepercayaan. Unsur-unsur sistem politik, dengan demikian, selalu terjaga untuk menjalankan aneka usaha dan kegiatan yang membawa amanat rakyat.
Implementasi demokrasi dalam perbagai bidang kehidupan harus bisa tampak, dan dilakukan secara memadai oleh pemerintah dan unsur lain dari sistem politik yang mendapat kepercayaan untuk mengembangkannya. Antara lain misalnya dalam bidang ekonomi.
Penerapan demokrasi di bidang ekonomi mesti bisa dirasakan dan memenuhi aspirasi rakyat yang bergumul dengan masalah itu. Namun kekeliruan bisa saja terjadi dalam penerapan, tidak selalu kepentingan rakyat banyak yang diutamakan. Boleh jadi, praktik politik-ekonomi hanya merupakan kompromi antara keinginan sempit dari berbagai golongan yang mempunyai pertimbangan dan kepentingan. Bahkan kadang-kadang kepentingan atau interest sempit itu paling menentukan dalam pengambilan keputusan politik-ekonomi dan pelaksanaan praktisnya.
Tidak mengherankan, dengan latar persoalan seperti itu, orang tergugah untuk bicara dan mencari penjernihan yang lebih memadai terhadap pelaksanaan demokrasi. Tak terkecuali praktek demokrasi di bidang ekonomi yang langsung dirasakan. Orang lantas bicara secara gencar tentang deviasi nyata yang seringkali menimbulkan kesan bahwa penyimpangan seperti itu sudah biasa berjalan tanpa menghiraukan lagi perwujudan demokrasi di bidang ekonomi. Hasil yang terlihat ternyata jauh dari keselarasan yang didambakan oleh rakyat.
Gagasan demokratisasi kehidupan ekonomi antara lain dimaksudkan untuk menghilangkan suasana pemerasan yang terjadi dalam interaksi penghisapan antar satu kelompok dengan kelompok lain. Misalnya dalam suasana tukar menukar, bagaimana menghilangkan kondisi supaya satu kelompok tidak mempunyai kekuatan atau kedudukan yang lebih istimewa untuk meraih keuntungan dari kelompok lain yang lemah yang kemudian juga dieksploitasi. Mereka yang menderita kelemahan ini biasanya dalam keadaan yang terpaksa dan tidak ada jalan keluar lain sebagai alternatif.
Menurut DR. C. Westrate dalam bukunya “Ekonomi Dunia Barat” (dalam Mutis, Thoby. 2002 ), suatu tata ekonomi negara antara lain karena situasi struktur pasar yang tidak sempurna. Di sanalah munculnya monopoli, oligopoli pada pasar penjualan, dan monopsoni serta oligopsoni pada pasar pembelian. Semakin menggejala hal ini dalam masyarakat ekonomi, semakin besar pula keuntungan dan permainan harga yang dinikmati oleh kelompok masyarakat yang mempunyai kedudukan istimewa tersebut.
Makin meluasnya situasi seperti itu antara lain disebabkan oleh beberapa faktor:
1.      Kemajuan teknis yang samakin berkembang, menyebabkan pihak yang meraih kemajuan teknis itu bisa memperoleh lebih banyak dan lebih baik, seraya memposisikan mereka pada kedudukan yang lebih istimewa.
2.      Keuntungan ekonomis karena mengusahakan secara besar-besaran pada beberapa cabang perusahaan (economics of large scale).
3.      Nafsu perluasan dari beberapa pengusaha secara berlebihan. Hal ini dikarenakan pengusaha bisa bergerak secara tak terbatas. Perluasan itu dengan sendirinya memakan korban yang tidak sedikit. Dalam soal ini, jika tidak cepat-cepat diciptakan aturan yang jelas mengenai pengarahan tentang perusahaan yang melakukan produksi massa, tak ayal lagi perusahaan lemah atau industri kecil bakal mati.
Kita perlu mengkaji lagi satu persatu bangun dari penataan Sistem Ekonomi yang berpijak pada visi pendiri Republik ini yang tergambar dalam pasal 33 UUD 1945. Berkaitan dengan Sistem Ekonomi itu, ada beberapa pertanyaan mendasar yang perlu dijawab, antara lain (1) Apa yang merupakan bagian strategis dalam sistem demokrasi?; (2) Bagaimana sifat dan wujud saling bergantung antara elemen-elemen yang ada dalam sistem itu?; (3) Manakah yang merupakan proses utama dalam sistem yang mempertalikan bagian-bagian sistem yang menyediakan ruang penyesuaian antara satu dengan yang lain?; (4) Apakah yang menjadi tujuan yang tercermin dalam sistem demokrasi ekonomi?
Dalam perspektif sistem ekonomi yang didasarkan pada pasal 33 UUD 1945, kemakmuran dalam masyarakat dapat dikatakan sebagai kesejahteraan sosial yang harus dicapai sebagai indikator keberhasilan pelaksanaan demokrasi ekonomi.

B.     Enam Permasalahan Utama

Ditinjau dari sisi pelaksanaan demokrasi ekonomi di Indonesia kita akan berhadapan pada beberapa pertanyaan dan permasalahan.
Pertama, dari aneka bahasan di masa lampau, sering dibicarakan bahwa salah satu parameter dari demokrasi ekonomi dalam masyarakat adalah munculnya pemerataan pendapatan yang semakin baik. Pola redistribusi pendapatan yang bermakna keadilan lalu menjadi sorotan dan dipertanyakan . Berkaitan dengan itu sering dipertanyakan kebijakan ekonomi dalam persepektif struktural: proses, perilaku, dan penataan hukum dan perataran (law enforcement) yang menterjemahkan dan mendukung penerapan pemerataan secara luas.
Kedua, sering juga para ekonom saat kini mempersoalkan aspek pemerataan apakah seiring dengan pertumbuhan (redistribotion with growth sebagaimana pengalaman Taiwan, Korea, dan Jepang) . Dalam bahasa ini akan dikaitkan aspek the principles of resource allocation yakni alokasi sumber daya, sumber dana, dan sumber-sumber lainnya yang turut direkayasa untuk memacu pemerataan pendapatan yang di dalamnya juga merangsang pertumbuhan ekonomi. Termasuk juga dipertanyakan tentang penetaan harga dan perilaku pasar yang menggerakkan alokasi secara tepat, kontekstual dan relevan. Soal lainnya adalah penataan harga yang merangsang insentif ekonomis tetapi di dalamnya secara integralistik mengundang unsur keadilan dalam berekonomi.
Ketiga, dalam bahasa teori ekonomi saat ini sering kita mendengar ungkapan tentang normatice economy dan positive economy. Positive economy mempersoalkan apa yang terjadi (actual condition). Sementara normative economy mempersoalkan what should be atau apa yang harus terjadi. Dan dalam sudut pandang normatif muncul pikiran kritis, muncul ruang yang mempersoalkan visi demokrasi ekonomi kita . Sudut pandang ini juga mempersoalkan apa yang sebenarnya yang harus terjadi dalam praktek demokrasi ekonomi kita . Hal ini juga berkaitan dengan persoalan rekayasa pemetaan ekonomi yang didasarkan pada cita-cita untuk kemakmuran masyarakat.
Keempat, modal yang akan digerakkan tentu tidak bisa langsung diambil begitu saja dari langit, tetapi perlu didasarkan pada visi. Dalam konteks Indonesia, visinya tentu Pancasila. Modal dalam demokrasi ekonomipun rupanya masih dkuasai oleh pihak pihak tertentu . banyak anggota masyarakat yang tidak memiliki modal , dipihak lain ada segelintir orang yang menguasai modal .
Paradigma Pareto Optimum dalam teori ekonomi memaklumkan bahwa kepuasan yang digapai seseorang hendaknya tidak boleh mengorbankan kepuasan orang lain. Hal ini amat rapat pertaliannya dengan paham keadilan sosial dalam Pancasila. Pareto Optimum itu di beberapa tempat dalam praktiknya dapat mempengaruhi para pelaku ekonomi supaya tidak serakah dan mengubah pandangan tentang tujuan ekonomi (econoimc goals) agar tidak selalu dalam lingkup untuk mencari untung semata, tetapi dilihat dalam konteks yang lebih luas bagaimana menggerakkan efisiensi, pemerataan pendapatan, keadilan harga (justum pretium), perluasan kesempatan kerja dan pertumbuhan ekonomi.
Kelima, ekonom yang peka pada keadilan sosial dan pemerataan juga membicarakan tentang kebijakan ekonomi yang di dalamnya mempersoalkan secara terus menerus tentang aneka kebijakan (macro and micro policies) yang erat kaitannya dengan tujuan ekonomi yang luas seperti yang dipaparkan tadi. Bahkan secara amat tajam mereka mempersoalkan tentang penghindaran biaya sosial (social cost) oleh para pelaku ekonomi untuk mencapai tujuan ekonomi atau melakukan kegiatan ekonomi untuk mencapai tujuan ekonomi atau melakukan kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu. Kebijaksanaan ekonomi jangan memaksa kepitalisme yang tidak manusiawi menjadi pelaku ekonomi yang dominan. Rasanya permodelan ekonomi virsi Indonesia perlu dipacu bersama secara relevan dengan kepekaan tertentu. Permodalan dalam kerangka mewujudkan demokrasi ekonomi perlu direkayasa sesuai konteks yang berlandaskan visi demokrasi ekonomi yaitu untuk kemakmuran rakyat secara merata.
Keenam, berkaitan dengan aneka rekayasa di atas, sering dibicarakan pula tentang koperasi, seperti di Jepang dan Korea dengan peran koperasi yang begitu kuat yang mulai memunculkan sosok tulang punggung perekonomian negara . Bahkan penggerak koperasi di Jepang seperti Kagawa mempersoalkan brother hood economy atau paham kekeluargaan dalam berekonomi yang menjadi dasar koperasi sehingga koperasi di negara itu juga menjadi agen dari demokrasi ekonomi. Pandangan almarhum Moh. Hatta dan Kagawa dalam banyak hal adalah sama, bahwa koperasi harus dibangun mulai dari bawah dan kemudian harus menjadi besar. Karena anggota koperasi adalah pemilik dan pengguna dari kegiatan koperasinya, maka ia perlu direkayasa untuk menjadi besar dan kuat.

C.    Monopoli dalam Demokrasi Ekonomi

Di dalam demokrasi ekonomi pelayanan kepentingan umum diutamakan. Dalam hal ini perilaku monopoli yang merugikan kepentingan umum sangat tidak dikehendaki.

I.            Undang-undang Anti Monopoli
Praktik monopoli dan persaingan yang tidak sehat yang telah berjalan selama ini telah nyata menyebabkan kehancuran perekonomian Indonesia. Usaha dan perilaku seperti ini kita semua tentu tidak menginginkan tumbuh subur. Untuk mencegah praktik tersebut telah dibuat perangkat perundang-undangannya. Persepsi yang sama antara masyarakat dan pemerintah terhadap substansi UU tersebut akan dapat mewujudkan perekonomian Indonesia yang lebih baik.
Meskipun terlambat, akhirnya UU Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menjadi bahan bahasan penting para wakil rakyat. Pokok pikiran penting yang harus diperhatikan benar oleh para wakil rakyat adalah pakaah dengan diundangkannya UU tersebut nantinya segala persoalan yang menyangkut praktik monopoli dan ekses-ekses yang ditimbulkannya bisa diatasi atau tidak. Hal ini penting mengingat pada berbagai kasus proses legislasi nasional, khususnya yang menyangkut regulasi ekonomi, memang menghasilkan produk perundangan yang canggih dan ideal, akan tetapi dalam pelaksanaannya sebagian besar tak ubahnya seperti lembaran-lembaran kertas tak bermakna.
Dalam konteks pelaksanaan UU Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, persoalan terbesar adalah dihadapkannya peraturan tersebut pada struktur dunia bisnis yang dibangun , yang terlanjur amat toleran bahkan secara pragmatis memang diletakkan dalam kerangka monopoli dan oligopoli. Dalam kerangka itu dunia bisnis Indonesia berfungsi sebagai simpul pertemuan antara pelaku bisnis pemburu rente (rent seeker) dan para pejabat korup untuk membangun sebuah imperium kekuasaan yang langgeng.
Terdapat beberapa ekses yang secara teoritis maupun empiris terjadi dalam ekonomi Indonesia akibat praktek-praktek monopoli-oligopoli tersebut.
Pertama, praktek bisnis monopolistik dan oligopolistik secara tidak adil dan tidak seimbang mendistribusikan kekayaan ekonomi melalui beban dan keuntungan transaksi ekonomi antara berbagai pihak. Pihak-pihak yang menikmati monopoli dan oligopoli dengan leluasan mengenakan harga yang tinggi dan meraup keuntungan yang besar secara tidak wajar dan tidak fair. Keuntungan dan kekayaan yang diperoleh dengan cara ini dianggap sebagai sebuah perampasan yang tidak fair dan tidak adil atas konsumen yang terpaksa harus membayar dengan harga lebih tinggi tadi.
Kedua, praktek bisnis monopolistik dan oligopolistik telah pula menciptakan inefisiensi ekonomi. Dalam situasi tanpa persaingan, perusahaan yang memegang hak monopolitik dan oligopolistik melalui proteksi politik umumnya dikelola secara tidak efisien dengan cara memboroskan sumberdaya yang ada. Akibatnya harga yang ditawarkan menjadi amat mahal. Pada gilirannya hal tersebut akan menurunkan daya saing nasional dalam arus global. Di sisi lain, pola kebijakan ekonomi yang mendukung hal tersebut hanya melahirkan pengusaha karbitan yang mengandalkan lobi-lobi dan kolusi politik yang distortif terhadap pasar.
Ketiga, akibat dari hal-hal tersebut di atas, ekonomi dan bisnis dikelola secara tidak rasional dan transparan. Keputusan-keputusan politik dalam dunia bisnis diarahkan pada keuntungan segelintir pengusaha yang dekat dengan penguasa. Akibatnya pemerintah tak cukup memiliki kredibilitas dalam pelaksanaannya. Deregulasi pemerintah yang benar-benar efektif menyelesaikan problema akut ekonomi Indonesia layak saja tak satupun.
Muara dari ketiga persoalan tersebut adalah terciptanya pasar domestik yang distortif. Distorsi ini terjadi baik secara sektoral, regional maupun perdagangan internasional (tingginya tarif). Akibat distorsi ini adalah sukarnya terdeteksi kemampuan pasar yang sebenarnya. Sentimen pasar menjadi kabur dan irrasional sehingga tak dapat terkendali secara wajar. Pasar yang menurut doktrinnya mengejawantahkan orde dan tatanan ekonomi yang harmonis berubah menjadi chaos dan unpredicted.
Memperbaiki struktur pasar seperti di atas itulah yang menjadi tantangan bagi UU Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Untuk itu memang harus dipenuhi beberapa persyaratan. Pertama, UU itu secara substansi harus dapat memberi kepastian bahwa di tengah iklim kebebasan berusaha, sesuai dengan semangat ekonomi pasar yang bebas dan terbuka, hak dan kepentingan semua pihak tidak akan dilanggar secara tidak fair. Kedua, UU itu dapat melindungi dan menjaga persaingan yang sehat di antara berbagai kekuatan ekonomi dalam pasar. Perlindungan dan jaminan ini terutama melalui aturan main yang transparan dan positif. Ketiga, UU ini harus secara tegas memberikan kesempatan kepada pelaku-pelaku ekonomi yang lemah agar bisa berkembang bebas melakukan transformasi skala usaha ke arah yang lebih luas.
Dengan persepsi yang sama antar berbagai pihak UU Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat akan dapat dilaksanakan dalam semangat untuk menciptakan perekonomian yang lebih baik pada masa kini dan masa depan, demi mewujudkan impian demokrasi ekonomi di Indonesia.

II.            Mencegah Monopoli Informasi
Kalau kita berbicara tentang demokrasi ekonimi agaknya satu hal yang perlu diperhatikan secara tuntas, soal informasi. Kita sering mendapat gambaran bahwa siapa yang menguasai informasi dialah yang bakal meraih peluang bisnis yang paling menguntungkan. Hal ini yang membuat sementara kalangan ekonom pernah mengatakan bahwa informasi saat ini bisa berfungsi sebagai faktor produksi. Informasi diharapkan mampu melayani kepentingan umum, sehingga tidak diharapkan adanya monopoli informasi untuk kepentingan individu atau sekelompok orang.
Jika terjadi monopoli informasi seperti di atas, maka mereka yang mempunyai akses informasi ini bisa meraih keuntungan bahkan bertambah kaya, sementara itu yang lain bisa tetap merata. Monopoli informasi macam ini bertentangan dengan paham demokratisasi akses informasi. Padahal managemen akses informasi perlu digerakkan untuk turut memacu demokrasi ekonomi. Karena demokrasi ekonomi tanpa demokratisasi akses informasi akan mengalami hambatan.
Berkaitan dengan hal ini sering kita mendengar ada informasi yang bocor dari orang dalam atau yang berwenang yang dapat menguntungkan pihak-pihak tertentu yang dekat dengannya. Sementara itu pihak-pihak lalin yang jauh dari sumber informasi tentu tidak menerima hal yang sama dan akan merana. Misalnya kalau ada pihak di luar pemerintah yang tahu bakal ada tindakan devaluasi oleh pemerintah, mereka tentu akan memborong valuta asing. Juga misalnya ada yang mengetahui akan ada pengumuman kenaikan harga barang-barang strategis tertentu atau kenaikan tingkat suku bunga, pihak-pihak yang telah mengetahui dari sumber-sumber orang dalam yang kompeten tentu akan meraih keuntungan yang besar. Demikian pula halnya dalam penataan tender bagi proyek-proyek pembangunan. Kenyataan semacam ini yang perlu kita simak secara lebih mendalam. Karena informasi orang bisa meraih abnorma profit dalam sekejap bahkan sering kita mendengar muncul orang kaya baru.
Berkaitan dengan kenyataan ini sering kita mendengar tentang perlunya kode etik mengenai pemberian informasi yang meluas atau tertutup supaya tidak menimbulkan situasi yang menyebabkan munculnya monopoli informasi yang tidak sehat dalam masyarakat kita. Usulan seperti ini perlu direpons dan dirumuskan secara baik. Kalau perlu dibuat undang-undang khusus tentang insider infomation or insider trading atau semacamnya supaya tidak terjadi monopoli informasi yang menguntungkan pihak-pihak tertentu saja. Apalagi dalam suasana saai ini di mana kita perlu melakukan aneka dialog untuk merumuskan penjabaran demokrasi ekonomi secara tepat dan mengena.

III.            Pengorganisasian Belum Mamadai pada Lapisan Bawah
Di sekitar kita kebanyakan industri besar, baik yang modalnya beresal dari dalam negeri maupun dari penanaman modal asing merupakan perusahaan tertutup. Atau dengan kata lain, ia bukan pula perusahaan milik koperasi yang bergerak dalam dunia industri. Dan perlu disadari, dalam industri itu sendiri terdapat persaingan yang tajam antara perusahaan yang menggunakan teknologi modern serta produksi massa di satu pihak dan perusahaan-perusahaan yang bermodal kecil,namun padat karya, dengan cara kerja dan manajemen tradisional di pihak lain. Akibat persaingan itu, banyak perusahaan batik rakyat kecil-kecilan harus gulung tikar karena tidak tahan berhadapan dengan industri batik modern dengan peralatan yang serba mutakhir.
Di samping itu, di dunia perusahaan yang bergerak di bidang industri belum diatur semacam pembatasan, untuk menghindarkan terbentuknya gabungan perusahaan yang bersifat trust dan kartel secara berlebihan.
Pengorganisasian usaha-usaha di bidang pertanian rakyat dan industri rumah kecil-kecil agaknya mesti bisa dimekarkan. Dengan demikian usaha itu tidak termakan atau terserap oleh tentakel-tentakel segelintir kelompok atau orang kuat yang berkecimpung dalam bidang pertanian rakyat dan industri yang mempunyai kedudukan yang berpotensi melakukan pemerasan. Mereka biasanya mempunyai kedudukan monopoli, oligopoli, atau monopsoni, oligopsoni dalam taat niaga hasil-hasil dari kedua sektor termaksud.
Komunikasi yang tidak efektif dengan rakyat pada lapisan yang paling bawah menyebabkan rakyat enggan bekerja aktif dalam program. Kesulitan dalam transportasi dan distribusi menyebabkan pembagian pupuk ke desa-desa tidak memuaskan serta kurang tepat pada waktunya. Rehabilitasi jaringan pengairan yang terbengkalai tak dapat mengikuti pesatnya kebutuhan akan air dari sawah-sawah yang kian banyak. dan akhirnya, pemasaran produksi beras makin yang meningkat tetapi tidak dipersiapkan dengan baik menyebabkan kesimpangsiuran tentang harga sehingga para petani hanya memperoleh keuntungan yang sedikit. Akibatnya, banyak petani enggan untuk membayar kredit yang telah mereka terima dari penyalur-penyalur benih, pupuk, dan pestisida.
Soal simpang siur tentang harga dalam penjualan hasil pertanian rakyat atau hasil industri rumah kecil-kecian di desa, di mana kebanyakan petani mendapat harga yang tak layak. Menurut penelitian pada beberapa komoditi ekspor hasil pertanian dan industri rumah rakyat, sebagai produsen mereka cuma mendapat 50 persen dari harga jual. Bahkan ada yang lebih rendah. Hal itu antara lain disebabkan, karena pada tata niaga komoditi-komoditi itu masih selalu dieksportir oleh pedagang perantara atau para elit ekonomi di desa. Karena mereka mempunyai kedudukan monopsonis (pembeli tunggal yang berkuasa).

D.    Demokrasi Ekonomi Era Otonomi dan Swastanisasi

Era otonomi yang diterapkan di Indonesia tidak terlepas dari upaya untuk perwujudan demokrasi ekonomi, khususnya memberi kesempatan pada masyarakat daerah untuk lebih berpartisipasi dalam perekonomian, sehingga terjadi peningkatan kesejahteraan di daerah-daerah. Dalam rangka efisiensi penggunaan sumberdaya dan sumber dana maka upaya swastanisasi sulit untuk dihindari.
1)      Demokrasi Industri di Era Otonomi
Akhir-akhir ini angin keterbukaan semakin berhembus dalam alam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Dalam istilah yang lebih populer kita menyatakan, bahwa proses demokrasi menjadi semakin berkembang di Indonesia. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari tuntutan masyarakat Indonesia sebagai akibat kemajuan pembangunan selama ini, yang ditandai dengan meningkatnya pendapatan, pendidikan, dan sebagainya.

2)      Swastanisasi BUMN
Salah satu bentuk deregulasi dan debirokratisasi dalam tatanan ekonomi Indonesia saat ini adalah adanya privatisasi dalam bentuk menswastakan beberapa BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Privatisasi bertujuan mengefisienkan penggunan sumber dana dan sumberdaya agar menghasilkan manfaat bagi kepentingan pemilik dan para stakeholder lainnya, seperti para karyawan, pelanggan dengan layanan yang cepat, tepat dan kalau dapat lebih murah. Semuanya sejalan dengan upaya memacu pertumbuhan bisnis yang memadai.
BUMN tidak efisien, antara lain karena para pengayomnya dari departemen teknis sering kurang memahami cara pembinaan yang tepat, sehingga menimbulkan inefisieni eksternal. Berkaitan dengan itu, beragam pihak merasa perlu melakukan pembenahan terhadap beberapa BUMN, antara lain dengan memasukkan unsur swasta atau dibeli oleh perusahaan swasta. Selain itu, saham perusahaan negara dapat dibeli perusahaan swasta dalam jumlah tertentu bila diubah bentuknya menjadi Perseroan Terbatas (PT) yang bisa go public.
Dengan alasan untuk memacu pertumbuhan bisnis dan mengefisienkan pelayanan, privatisasi itu bisa diterima. Karena ada perusahaan negara yang nyata-nyata merugi akibat mismanajemen, atau karena mismatching dari permodalannya, atau karena salah urus. Namun tujuan ekonomi bukan melulu untuk pertumbuhan tetapi juga untuk pemerataan. Bahkan ada ungkapan tentang redistribution with growth di negeri-negeri yang sukses melakukan privatisasi terhadap perusahaan negara yang sebelumnya tidak efisien.

E.     Membangun Wirausaha

Sistem demokrasi ekonomi sebagai sarana menggerakkan ekonomi rakyat sangat berupaya menciptakan kesejahteraan melalui peningkatan kemandirian atau usaha membangun kewirausahaan.
Sudah sejak Orde Baru, Garis Besar Haluan Negara membentangkan rumusan yang memandang perlunya meningkatkan kesejahteraan kelompok masyarakat yang rendah penghasilannya. Di samping itu, dipandang perlu adanya pembagian pendapatan yang merata bagi seluruh rakyat sesuai dengan rasa keadilan. Keduanya dilakukan sekaligus untuk mencegah melebarnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin.
Berkaitan dengan golongan ekonomi lemah telah pula digariskan bahwa usaha program untuk memperluas dan meningkatkan usahanya, dalam rangka memperluas pengikutsertakan golongan ekonomi lemah dalam ruang lingkup dan tanggung jawab yang lebih besar. Ekonomi lingkup dan tanggung jawab yang lebih besar. Ekonomi lemah harus diberi kesempatan untuk memperluas permodalannya, meningkatkan keahliannya untuk mengurus perusahaan dan kesempatan untuk memasarkan produksinya. Rumusan haluan negara yang seperti itu baik dan patut didukung, namun yang lebih penting ungkapan tersebut perlu diterjemahkan ke dalam konsep yang praktis dan sesuai dengan situasi kongkrit di daerah-daerah.
Saat ini ada juga usaha-usaha yang dilakukan pemerintah dalam rangka membantu pengusaha kecil di pusat dan daerah. Misalnya dengan mendirikan pasar-pasar supaya pengusaha kecil dapat melakukan usaha-usaha secara lebih baik. Juga pemerintah menyediakan berbagai fasilitas kredit yang ditujukan untuk membantu pengusaha atau perusahaan kecil. Namun, di balik itu semua, supaya lebih sukses dalam penyaluran serta pengadaannya dibutuhkan pula studi khusus dan pembinaan yang lebih baik bagi perusahaan kecil.
Bertalian dengan soal ini Dr. O. Sutomo Koesnadi dalam tulisan berjudul Kebangkitan Wiraswasta Indonesia antara lain mengemukakan bahwa patut pula kiranya memikirkan bagaimana mengembangkan para usahawan atau wiraswasta-wiraswasta kecil yang pada saat ini bertebaran di seluruh pelosok tanah air. Mereka mungkin berasal dari lulusan ataupun drop out sekolah dasar, menegah atau perguruan tinggi, atau telah mengalami beberapa pendidikan non-formal di desa-desa baik kejuruan, pertukangan, pertanian dan sebagainya. Kendati belum mendapat bimbingan yang memadai, usahanya ada yang berjalan. Meski ada pula yang tidak berkembang atau kecil, dan bahkan mati.
Dalam hal ini, Presiden Bank Dunia beberapa tahun lalu mengusulkan kepada negara-negara berkembang untuk mendirikan semacam industrial estate (kawasan industri mini) yang berada di pinggiran kota-kota besar. Maksud pendirian itu sejalan dengan pengembangan para usahawan kecil dan menengah, yaitu untuk menampung para wiraswasta kecil menengah tersebut agar mereka bisa berkembang usahanya. Dengan adanya kawasan industri mini, sedikitnya mereka dapat sarana yang memadai untuk mengembangkan usahanya.
Dalam era dimana orang semangat untuk membicarakan visi 2020 maka mau tidak mau perlu adanya suatu pemberdayaan yang sangat tajam terhadap para wirausaha Indonesia untuk berkiprah secara lebih mantap di dalam dunia bisnis tingkat nasional maupun internasional. Persoalan baig kita antara lain adalah mempertajam intuisi, bukan hanya mendapatkan pendidikan di bangku sekolah tetapi juga pengalaman dan penciuman bisnis (business intelligence). Hal ini memerlukan dedikasi tertentu yang ditunjang oleh suatu sikap yang tidak mudah patah semangat, lebih lentur dalam menghadapi kesulitan-kesulitan yang berproses seraya mempertajam kepekaan terhadap lingkungan mikro ataupun makro secara tepat. Melalui kesulitan yang berproses ini justru mutiara kewirausahaan itu ditempa untuk menghasilkan buah berlimpah.
Kekuatan yang harus dimiliki wirausahawan antara lain berusaha menghilangkan hambatan-hambatan yang tidak perlu, memacu kebersamaan visi yang win and win, menata kesetaraan dalam kemitraan, memacu keunggulan kewirausahaan yang berani mengambil risiko. Momentum liberalisasi perdagangan, tentu memacu persaingan ekonomi global yang tak terhindarkan. Para entrepreneur dari Indonesia dalam menghadapi liberalisasi ini mau tidak mau perlu meningkatkan kualitas kewirausahaan, baik melalui upaya mempertajam intuisi maupun pendekatan analisis bisnis yang tepat.
Gary Hamel dan Aime Heene dalam Thoby Mutis (2002) menyatakan bahwa keunggulan persaingan yang terus menerus diperbaharui paling mungkin dipenuhi oleh sebuah organisasi yang terus menerus belajar, atau organisasi yang memungkinkan proses belajar yang berkelanjutan itu berlangsung (learning organization) yang memiliki fleksibilitas strategi operasional tertentu dan mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
a)      Pola pikir serta tindakan yang teratur dari semua anggota organisasi, dengan memperhatikan hubungan antara fungsi-fungsi manajemen yang berbeda.
b)      Adanya keinginan yang kuat untuk melakukan pembaharuan, bukan hanya untuk memperbaiki praktik-praktik di masa lampau atau saat ini, yang memungkinkan perusahaan terus menerus berpikir ulang mengenai keunggulan kompetitifnya.
c)      Adanya arus informasi yang mengalir bebas antara anggota organisasi dengan perusahaan dan lingkungannya, yang dimungkinkan karena adanya infrastruktur informasi yang baik.
d)     Adanya struktur organisasi yang ramping dan non hierarchical, yang terdiri dari tim yang besar dan mampu mengatur dirinya sendiri, sehingga memberikan kesempatan pada anggota organisasi untuk mengembangkan kreativitas dan inisiatif mereka.
e)      Adanya penekanan untuk menggunakan pengetahuan, keahlian, dan sikap-sikap yang sudah ada semaksimal mungkin, dengan diikuti oleh pencarian yang berkesinambungan akan alternatif-alternatif terhadap kebiasaan dan rutinitas yang ada selama ini.
f)       Adanya visi masa depan yang ringkas, eksplisit dan tersebar di seluruh organisasi yang digunakan sebagai panduan bagi pengkoordinasian tindakan dan pengambilan keputusan, sekaligus sebagai kekuatan pendorong dibalik semua usaha penyesuaian keputusan dan tindakan di dalam perusahaan.
g)      Menerima serta menggunakan proses transrasional seperti intuisi, simbolisasi dan metafora sebagai dasar bagi kreativitas, pembauran dan penataan kembali penyusunan sumberdaya.

F.     Permasalahan koperasi

Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 ayat (1), seharusnya koperasi dan industri kecil di Indonesia mendapatkan tempat yang memadai dalam upaya menciptakan kesejahteraan masyarakat. Namun kalau kita lihat realitasnya benarkah demikian? Banyak masalah dan pertanyaan yang berhubungan dengan peran koperasi dan industri kecil dalam peranannya terhadap perekonomian.
Kalau kita bicara lebih lanjut tentang usaha kecil dan koperasi di Indonesia, rasanya Pasal 33 UUD 45 sudah memberikan beberapa patokan yang jelas, tinggal bagaimana menarik garis dalam perundang-undangan yang lebih rendah tingkatnya, atau mematri peraturan dan kebijaksanaan yang bisa ditempuh.
Azas bersama dan kekeluargaan bisa diartikan bahwa hak milik perorangan atas faktor produksi diakui dan dinyatakan mempunyai fungsi sosial. Juga tidak ada situasi dan kondisi pemerasan yang terjadi dalam hubungan satu kelompok dan kelompok lain dalam masyarakat. Dan ada usaha yang terus menerus untuk mematahkan suasana pemerasan yang berlangsung itu. Dan tidak ada kecemasan bahwa bagian masyarakat tertentu yang tertimpa pemerasan akan terkungkung dalam situasi yang tak terkendali.
Masalah kita saat ini ialah bagaimana menata langkah supaya pasal 33 UUD 45 menjelma dalam kehidupan praktis dari warga masyarakat Indonesia. Bagaimana memerangi perbagai bentuk konsentrasi yang melakukan pemerasan baik secara langsung maupun tidak langsung demi keuntungan bagian terbesar masyarakat. Penjelmaan hal ini antara lain dalam bentuk reformasi struktur sosial ekonomi yang mengurangi tercapainya perbaikan ekonomi rakyat secara lebih pantas.
Nampaknya gambaran peranan koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional semakin lama semakin meresapi kalbu bangsa secara keseluruhan. Namun masalahnya, kepercayaan yang sudah mendekati keyakinan ini masih saja tertumbukk pada berbagai kenyataan pahit, yaitu celah yang menganga lebar antara cita-cita dan kenyataan. Mengapa koperasi yang ingin kita lihat berperanan besar dalam perekonomian nasional kadang-kadang ‘menjengkelkan’. Misalnya, apabila KUD belum berfungsi secara nyata dan baik dalam penyelenggaraan program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI), kita dapat menyalahkan oknum-oknum pengelolanya. Tetapi bahwa oknum-oknum yang demikian sempat beroperasi menggerogoti organisasi, pasti disebabkan pengawasan anggota yang tidak efektif. Dan selanjutnya pengawasan anggota yang tidak efektif pasti juga ada hubungannya dengan mekanisme demokrasi yang tidak jalan.
Koperasi adalah sokoguru atau tiang-tiang pokok penyangga ekonomi rakyat banyak dan sokoguru hanya akan kuat apabila peran serta anggotanya benar-benar berjalan secara aktif dan efektif.
Masalah yang dihadapi koperasi memang cukup pelik, karena di luar perusahaan-perusahaan negara, sektor swasta sudah jelas terbagi dua yaitu sektor swasta kecil dan menengah yang berazas persaingan bebas, dan swasta kuat yang monopolistik atau oligopolistik. Sektor koperasi yang hendak dikembangkan pemerintah terperangkap dalam dua pola ekonomi. Di satu pihak koperasi primerkecil harus bersing mendekati sistem persaingan bebas, tetapi di pihak lain kekuatan-kekuatan monopoli dan oligopoli tidak memberi ruang gerak bagi kegiatan-kegaitan koperasi. Dalam pada itu pemerintah berusaha mengatasi kedua masalah tersebut sekaligus. Di satu pihak ekonomi rakyat kecil dibantu dengan macam-macam permodalan dan fasilitas, dengan membangun lembaga-lembaga ‘instansional’ atau setengah resmi, dan tingkat atas Pusat-Koperasi Unit Desa (PUSKUD) dibangun dan dibantu dengan dana-dana permodalan besar untuk juga bisa bersaing menghadapi kekuatan-kekuatan swasta monopoli dan oligopoli.
Data empirik belum cukup meyakinkan bagi penyimpulan hasil akhir kedua “front” perjuangan tersebut. Namun yang jelas, sistem persaingan yang menjurus ke sistem gontokan bebas memang bisa membuat gerakan koperasi mengadapi berbagai tantangan berat.
Demokrasi ekonomi merupakan konsep yang digagas oleh para pendiri negara Indonesia (founding fathers) untuk menemukan sebuah bentuk perekonomian yang tepat dan sesuai dengan karakter bangsa Indonesia. Penerapan dari konsep ini masih terus dicari dan dikembangkan bentuknya hingga saat ini, karena tidak mudah membentuk suatu sistem perekonomian yang khas Indonesia namun tetap sesuai dengan perkembangan jaman. Menurut Sritua Arief, Juoro menilai bahwa demokrasi ekonomi mengandung konsekuensi moral, tetapi secara khusus disoroti sebagai bentuk perpaduan antara politik, ekonomi, dan moral kultural. Sistem politik, ekonomi, dan moral kultural bekerja secara dinamis, seimbang, dan tidak saling mensubordinasikan sehingga masing-masing berinteraksi secara baik.
Dalam rangka mewujudkan demokrasi ekonomi tersebut, saat ini, DPR RI sedang membahas Rancangan Undang-Undang tentang Demokrasi Ekonomi. RUU ini bertujuan untuk menyelenggarakan Perekonomian Nasional sebagai usaha bersama dengan mengutamakan kepentingan rakyat banyak untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Seiring perkembangan sistem perekonomian Indonesia, maka ada beberapa hal yang memperkuat lahirnya ruu ini, yaitu memperkuat kedaulatan kita sebagai bangsa atas bangsa kita sendiri, kedaulatan kita untuk menjalankan roda kehidupan di negara ini, kedaulatan untuk mencapai kesejahteraan, kedaulatan atas apa yang dianugrahkan Tuhan kepada bangsa ini. Selain kedaulatan, ruu ini diharapkan mampu membentuk sistem perekonomian khas Indonesia yang tidak tergantung lagi oleh siapa yang memimpin negara ini, nemun menjadikan pemimpin negara ini mewujudkan apa yang sudah menjadi tujuan mulia yang digagas oleh para founding fathers kita.
Jika dilihat dari landasan Yuridis maka RUU ini berpijak pada Pasal 33 UUD Tahun 1945 ayat (1) menyatakan bahwa: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Filosofi berfikir Pasal 33 ayat (1) dipahami sebagai memiliki kolektivisme. Substansi “usaha bersama” memiliki makna bahwa perekonomian tidak dikuasai dan dieksplorasi oleh orang-perorang akan tetapi dilakukan bersama-sama, yang memiliki arti saling bergotong-royong antara pihak satu dengan lainnya. Makna bersama-sama ataupun makna gotong-royong dalam budaya, dilakukan oleh satu pihak dengan pihak lainnya. Didalam prakteknya selama ini adanya kesalahan penafsiran dengan apa yang dimaksud dengan istilah “kekeluargaan”. Kekeluargaan bukan diartikan sebagai “keluarga”dalam arti ansich tetapi filosofisnya adalah kolektivisme yang saling menguntungkan satu dengan yang lainnya. Pasal 33 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ayat (2) menyatakan bahwa: Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Ketentuan ini jelas memiliki makna unit-unit ekonomi yang menyangkut hajat hidup orang dimiliki, diorganisasi dan didistribusikan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dari pengertian ini pengutamaan kepentingan masyarakat, memperoleh pengukuhan (assertion dan reconfirmation) untuk kesejahteraan rakyat (welfare state). Sebagaimana dikemukakan oleh Bung Hatta, dikuasai oleh negara dalam Pasal 33 ayat 2 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 lebih ditekankan pada segi dimilikinya hak oleh negara (bukan Pemerintah) untuk mengendalikan penyelenggaraan cabang-cabang produksi yang bersangkutan. Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyat yang diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara. Dalam pengertian tersebut, tercakup pula pengertian kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif. Pasal 33 ayat (4) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa: Perekonomian Nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi, dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Dari penjelasan landasan yuridis jelas terlihat sebanarnya bangsa Indonesia telah menentukan bentuk dari sistem perekonomiannya, namun, dalam pelaksanaannya masih banyak yang harus disesuaikan kembali dengan Pasal 33 ini. Banyak faktor yang menyebabkan sistem perekonomian Indonesia belum sepenuhnya memcerminkan kepribadiannya, salah satu yang cukup besar pengaruhnya adalah adanya kerjasama internasional baik bilateral maupun multilateral diberbagai bidang, terutama bidang ekonomi. Perdagangan Internasional ini cukup banyak mempengaruhi kebijakan Indonesia terutama kebijakan yang berhubungan dengan ekonomi. Contohnya, kesepakatan Indonesia dengan negara-negara Asia Tenggara untuk melakukan perdagangan bebas diantara negara-negara Asia Tenggara. Memang, perjanjian ini memiliki dampak positif dan negatif, namun sebaiknya ditelaah apakah kebijakan ini sesuai dengan konstitusi? Dan apakah kebijakan ini semakin memperkuat kedaulatan bangsa terutama terkait dengan kepemilikan sumber daya alam, mampu mengutamakan kepentingan bersama, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat? Jika kedaulatan dan kesejahteraan masyarakat tergadaikan maka kebijakan tersebut sebaiknya dipertimbangkan lagi untuk dicari jalan keluar yang tetap menguntungkan kepentingan nasional.
Selain pelaksanaan perekonomian yang masih belum mencerminkan demokrasi ekonomi yang sesuai dengan konstitusi, ada hal lain yang cukup mengkhawatirkan bangsa Indonesia, yaitu semakin terkikisnya kedaulatan bangsa ini terutama yang berkaitan dengan kepemilikan sumber daya alam. Banyak kontrak-kontrak kerja yang memposisikan Indonesia berada di posisi yang lemah dalam hal pengolahan sumber daya alam bangsa ini. Bahkan kedaulatan negara ini mulai tergadaikan oleh nilai yang tidak sebanding dengan apa yang telah digadaikan. Kesadaran yang lemah atau mungkin masyarakat Indonesia yang masih memiliki pengetahuan yang minim mengenai apa yang dimiliki bangsa ini atau bahkan ketidaktahuan mereka bagaimana memperlakukan apa yang menjadi miliknya dicarikan solusinya.
Disisi lain, kedaulatan Indonesia di bidang ekonomi juga perlahan-lahan mulai terjadi erosi. Terkikisnya kedaulatan dibidang ekonomi sangat apik terbungkus dalam wadah ekonomi pasar yang saat ini mulai sedikit-sedikit diterapkan di Indonesia. Pelepasan beberapa komoditi yang menyangkut kepentingan rakyat oleh pemerintah dengan alasan kemandirian masyarakat dan kemudian diserahkan kepada mekanisme pasar. Hal ini harus segera diwaspadai dan dilakukan perbaikan terutama sistem dan kebijakan agar tidak lagi terjadi penggadaian yang mampu merugikan kepentingan rakyat banyak. Memaknai kedaulatan terkait dengan
Dari contoh-contoh permasalahan di atas cukup memberikan alasan yang kuat untuk bangsa ini memiliki sistem perekonomian yang sesuai dengan kepribadian bangsa dan tidak dipengaruhi oleh kekuasaan yang sedang memimpin di negara ini. Demokrasi ekonomi merupakan pilihan yang sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Walaupun membutuhkan waktu dan pengayaan yang cukup dalam untuk membentuk suatu sistem perekonomian yang asli Indonesia. RUU tentang Demokrasi Ekonomi diharapakan menjadi titik tolak undang-undang lain yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak, agar tidak lagi merugikan kepentingan rakyat banyak dan mampu memberikan kesejahteraan bagi bangsa Indonesia secara adil dan merata.
Read More

Sejarah Uang Kertas Dunia


SEJARAH UANG KERTAS DUNIA

U
ang yang kita kenal sekarang ini mengalami proses perkembangan yang panjang. Pada mulanya, masyarakat belum mengenal pertukaran karena setiap orang berusaha memenuhi kebutuhannnya dengan usaha sendiri. Manusia berburu jika ia lapar, membuat pakaian sendiri dari bahan-bahan yang sederhana, mencari buah-buahan untuk konsumsi sendiri; singkatnya apa yang diperolehnya itulah yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhanya.
Perkembangan selanjutnya mengahadapkan manusia kepada kenyataan bahwa apa yang diproduksi sendiri ternyata tidak cukup untuk memenuhui seluruh kebutuhannya. Untuk memperoleh barang-barang yang tidak dapat dihasilkan sendiri mereka mencari orang yang mau menukarkan barang yang dimilikinya dengan barang lain yang dibutuhkannya. Akibatnya timbul “barter”, yaitu barang yang ditukar dengan barang.Namun pada akhirnya, banyak kesulitan-kesulitan yang dirasakan dengan sistem ini, di antaranya adalah kesulitan untuk menemukan orang yang mempunyai barang yang diinginkan dan juga mau menukarkan barang yang dimilikinya; dan kesulitan untuk memperoleh barang yang dapat dipertukarkan satu sama lainnya dengan nilai pertukaran yang seimbang atau hampir sama nilainya. Untuk mengatasinya, mulailah timbul pikiran-pikiran untuk menggunakan benda-benda tertentu untuk digunakan sebagai alat tukar.
Kesulitan dalam sistem barter mendorong manusia untuk menciptakan kemudahan dalam hal pertukaran, dengan menetapkan benda-benda tertentu sebagai alat tukar. Benda-benda yang ditetapkan sebagai alat pertukaran adalah benda-benda yang diterima oleh umum (generaly accpeted). Benda-benda yang dipilih bernilai tinggi (sukar diperoleh atau memiliki nilai magis dan mistik), atau benda-benda yang merupakan kebutuhan primer sehari-hari. Misalnya, garam oleh orang Romawi digunakan sebagai alat tukar, maupun sebagai alat pembayaran upah. Pengaruh orang Romawi tersebut masih terlihat sampai sekarang; orang Inggris menyebut upah sebagai salary yang berasal dari bahasa Latin salarium yang berarti garam.
Meskipun alat tukar sudah ada, kesulitan dalam pertukaran tetap ada. Kesulitan-kesulitan itu antara lain karena benda-benda yang dijadikan alat tukar belum mempunyai pecahan, sehingga sulit menentukan nilai uang; penyimpanan (storage) dan pengangkutan (transportation) menjadi sulit dilakukan; serta timbulnya kesulitan akibat kurangnya daya tahan benda-benda tersebut sehingga mudah hancur atau tidak tahan lama.
Kemudian muncul apa yang dinamakan dengan uang logam. Logam dipilih sebagai alat tukar karena memiliki nilai yang tinggi sehingga digemari umum, tahan lama dan tidak mudah rusak, mudah dipecah tanpa mengurangi nilai, dan mudah dipindah-pindahkan.
Logam yang dijadikan alat tukar karena memenuhi syarat-syarat tersebut adalah emas dan perak. Uang logam emas dan perak juga disebut sebagai uang penuh (full bodied money), artinya nilai intrinsik (nilai bahan uang) sama dengan nilai nominalnya (nilai yang tercantum pada mata uang tersebut). Pada saat itu, setiap orang menempa uang, melebur, menjual, dan memakainya dan setiap orang mempunyai hak tidak terbatas dalam menyimpan uang logam.
Sejalan dengan perkembangan perekonomian, timbul kesulitan ketika perkembangan tukar-menukar yang harus dilayani dengan uang logam bertambah, sedangkan jumlah logam mulia (emas dan perak) terbatas. Penggunaan uang logam juga sulit dilakukan untuk transaksi dalam jumlah besar (sulit dalam pengangkutan dan penyimpanan). Sehingga lahirlah uang kertas.
Mula-mula uang kertas yang beredar merupakan bukti-bukti pemilikan emas dan perak sebagai alat/perantara untuk melakukan transaksi. Dengan kata lain, uang kertas yang beredar pada saat itu merupakan uang yang dijamin 100% dengan emas atau perak yang disimpan di pandai emas atau perak dan sewaktu-waktu dapat ditukarkan penuh dengan jaminannya. Selanjutnya, masyarakat tidak lagi menggunakan emas (secara langsung) sebagai alat pertukaran. Sebagai gantinya, mereka menjadikan ‘kertas-bukti’ tersebut sebagai alat tukar.
Uang logam adalah uang yang terbuat dari logam; biasanya dari emas atau perak karena kedua logam itu memiliki nilai yang cenderung tinggi dan stabil, bentuknya mudah dikenali, sifatnya yang tidak mudah hancur, tahan lama, dan dapat dibagi menjadi satuan yang lebih kecil tanpa mengurangi nilai. Uang logam memiliki tiga macam nilai:
1. Nilai intrinsik, yaitu nilai bahan untuk membuat mata uang, misalnya berapa nilai emas dan perak yang digunakan untuk mata uang.
2. Nilai nominal, yaitu nilai yang tercantum pada mata uang atau cap harga yang tertera pada mata uang. Misalnya seratus rupiah (Rp. 100,00), atau lima ratus rupiah (Rp. 500,00).
3. Nilai tukar, nilai tukar adalah kemampuan uang untuk dapat ditukarkan dengan suatu barang (daya beli uang). Misalnya uang Rp. 500,00 hanya dapat ditukarkan dengan sebuah permen, sedangkan Rp. 10.000,00 dapat ditukarkan dengan semangkuk bakso).
Ketika pertama kali digunakan, uang emas dan uang perak dinilai berdasarkan nilai intrinsiknya, yaitu kadar dan berat logam yang terkandung di dalamnya; semakin besar kandungan emas atau perak di dalamnya, semakin tinggi nilainya. Tapi saat ini, uang logam tidak dinilai dari berat emasnya, namun dari nilai nominalnya. Nilai nominal adalah nilai yang tercantum atau tertulis di mata uang tersebut 

Read More

Sejarah Uang Kertas Indonesia


SEJARAH UANG KERTAS INDONESIA

JAMAN PEMERINTAHAN BELANDA 1610 – 1811

Masa awal perkembangan uang kertas di Indonesia tak lepas dari pengaruh imperialisme asing (Belanda, Inggris, dan Jepang). Sejak kedatangan bangsa-bangsa asing, terutama para pedagang yang memperkenalkan berbagai jenis mata uang logam asing sebagai alat pembayaran dalam perdagangan dengan penduduk setempat sampai pengedaran mata uang logam khusus berlaku di kepulauan Nusantara 1602-1799, tidak dipergunakan uang kertas. Meskipun kertas telah dikenal di Indonesia pada abad XVII, sumber-sumber tertulis asing terutama dari bangsa Belanda dengan perwakilan dagang dan kekuasaannya Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) 1602–1799 tidak pernah menyebutkan penggunaan uang kertas tetapi uang logam sebagai alat pembayaran utama di kepulauan Nusantara.

Terkecuali, satu-satunya sumber tertulis Belanda yang melaporkan penerbitan uang kertas darurat oleh penguasa VOC di Pulau Banda pada tahun 1659, dikarenakan kesulitan uang kecil dari bahan logam. Beberapa waktu setelah pengeluaran uang kertas karton darurat Kota Leiden 1576 dan saham pertama VOC di dunia 1606. Uang kertas Banda 1659 ini mendahului penerbitan uang kertas modern bangsa-bangsa barat: Swedia 1661, Inggris 1694, Norwegia 1695, Perancis 1701.

Selama masa kekosongan yang panjang (1659-1782) Bank pertama Bataviaasch Bank Courant (1746) dan Bank Van Leening mengeluarkan surat-surat bank dalam berbagai pecahan (1748-1752). Beberapa tahun sebelum pembubarannya, VOC menyadari perlunya alat pembayaran dari kertas untuk transaksi besar yang dikenal sebagai “Surat Hutang Kompeni” (Compagnie Kredietbrieven) pada tahun 1782. Instrumen moneter ini sering dianggap sebagai uang kertas pertama di Indonesia. Pada waktu yang hampir bersamaan penguasa VOC di Ceylon (Srinlanka) juga menerbitkan instrumen sejenis pada tahun 1785 dan seterusnya. Uang “Surat Hutang Kompeni 1782” Ini beredar dalam jumlah hampir tidak terbatas sehingga turun nilainya menjadi 85%. Antara tahun 1782-1799, VOC mengeluarkan beberpa emisi surat Hutang (Kredietbrieven) dengan pecahan berbeda-beda. Pemalsuan atas surat Hutang 1782 ini merupakan yang pertama kali di Indonesia.

Setelah pengambilalihan kekuasaan VOC di Indonesia oleh Republik Batavia (1799-1806) tidak ada penerbitan Surat Hutang oleh pemerintah pusat di Batavia, hanya uang logam India Batavia (1799-1806) yang berlaku umum. Di lain hal surat hutang VOC di Amboina 1805, yang juga berlaku di Banda dan Ternate sebagai Bagian Pemerintahan Maluku, masih memakai lambang VOC. Ketika Indonesia berada dibawah pengawasan kerjaan Hollandia (1806-1811), uang kertas tidak hanya diterbitkan oleh Pemerintah Pusat di Batavia, tetapi juga oleh Pemerintah Lokal di Ambon, Banda, dan Ternate. Pada masa ini, semua jenis uang logam dan kertas menampilkan lambang (monogram) LN (Lodewijk Napoleon). Yang terkenal diantaranya adalah uang kertas Probolinggo (Probolinggo Paper) 1810, yang berkaitan dengan kebijakan Gubernur Jenderal Mr. HW Daendels (1808-1811) menjual tanah negara dan hak kekuasaannya kepada perorangan. Uang kertas Probolinggo 1810 merupakan hipotik Han Tik Ko, Kapitan Cina (1799-1811) di Pasuruan, yang dapat ditukar dengan perak selama 10 tahun. Kenyatannya uang Probolinggo mengalami inflasi sampai 50% dibawah nominal. Usul Daendels tidak efektif bahkan penggantinya Letnan Gubernur Raffles (1811-1816) yang memberlakukan kurs ketat menyebabkan penurunan nilainya s.d. 60%.


JAMAN PEMERINTAHAN INGGRIS 1811-1816
Pemerintah Letnan Gubernur Raffles (1811-1816) menghadapi masalah kesulitan keuangan yang diwariskan oleh Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811). Pembukuan dilakukan dalam Dollar Spanyol pada awalnya tetapi segera digantikan oleh Rupee dan Ropi Jawa (Java Rupee) sebagaimana terlihat diatas uang kertas terbitan Inggeris (termasuk oleh Lombard Bank 1814). Tampaknya masa yang singkat ini, hanya sedikit jumlah uang kertas yang dikeluarkan seperti halnya uang logam pecahan besar.

.
JAMAN PEMERINTAHAN BELANDA 1816-1942
Pada masa ini terlihat perubahan mendasar atas bahan kertas dan corak penciptaan “Creatie 1815” sebagai uang kertas kredit pemerintah mirip dengan uang kertas Creatie Suriname 1829. Peredaran uang kertas Creatie 1815 tidak luput dari pemalsuan karena kesederhanaannya. Penerbitan uang kertas mirip cek Javasche Bank 1827 dicetak untuk pertama kalinya oleh percetakan Johan Enschede en Zonen (Belanda). Selanjutnya Javasche Bank menerbitkan uang kertas tembaga (Koperpapier) dan uang tembaga (Kopergeld) 1832, 1842, dengan corak mirip uang kertas Suriname 1826 dan uang Belanda Muntbiljet 1845. Sejak penerbitan uang kertas Koperpapier ini, huruf Jawa tercantum seterusnya s.d. menjelang emisi terakhir Javasche Bank 1946, terkecuali terbitan Departemen Keuangan Muntbiljet, juga untuk pertama kalinya ‘tanda air’ (watermark) digunakan sebagai alat pengaman.

Pada tahun 1846 diterbitkan uang kertas baru ‘Resepis Perak’ (Zilver Recepissen) oleh Javasche Bank. Tidak seperti penerbitan sebelumnya tanda tangan pengesahan untuk beredar bukan oleh pejabat Javasche Bank tetapi oleh Pejabat Kantor Pemeriksaan Keuangan Umum (Algemeene Rekenkamer). Uang Resepis Perak ini beredar dalam jumlah besar sehingga untuk melawan peredaran uang tembaga yang berkelebihan dan buruknya uang kertas Resepis Perak, maka uang logam yang beredar di Hindia Belanda pada masa pemerintahan Raja Willem III (1849-1890) dicetak di percetakan Utrecht, Belanda. Berkali-kali reformasi keuangan telah dilakukan, namun tidak menghasilkan keuangan yang sehat. Tahun 1851 Javasche Bank masih menerbitkan uang kertas berbentuk cek, seperti emisi Kopergeld 1832 dan 1842. Semua uang kertas Javasche Bank terbitan-terbitan awal terbatas luas daerah peredarannya.
Tahun 1864 Javasche Bank menerbitkan uang kertas sesungguhnya seperti halnya uang kertas semasa sekarang ini, dimana sarat dengan corak hisasan sebagaimana uang klasik lainnya. Pencantuman teks undang-undang dalam 4 bahasa (Belanda, Arab Melayu, Jawa, Cina) menunjukkan bahasa dan tulisan yang paling dominan dipakai oleh masyarakat di Hindia Belanda waktu itu. Peredaran uang kertas ini tidak begitu disukai di Sumatera Barat. Unsur pengaman mulai ditambahkan pada nomor seri dan kode kontrol. Namun uang kertas ini tidak luput dari pemalsuan.

Mulai tahun 1873 beredar emisi Javasche Bank yang baru dengan ciri-ciri utama corak hiasan bingkai kayu dan lambang kota Batavia. Menjelang akhir penutupan abad XIX, beredar uang kertas perusahaan lokal (scrip) seperti NIEM 1861 (BDN), Brown & Co. 1890, NHM 1888 (Bank Eksim) dan sejumlah besar perkebunan-perkembunan di Sumatera Timur dan Jawa Barat, yang dikenal sebagai uang kupon perkebunan ± 1889 dan seterusnya. Akhir abad XIX, Javasche menerbitkan uang kertas emisi 1897 (seri Coen-Mercurius) bercirikan lambang kota Surabaya, Batavia, dan Semarang serta panorama pesisir laut di antara Dewa Merkurius dan Gubernur Jenderal J.P. Coen (1623, 1627-1629). Semua uang kertas klasik diatas peredarannya masih terpusat di Pulau Jawa. Selanjutnya uang kertas kolonial terbitan abad XX terlebih dengan diundangkannya larangan menggunakan uang asing selain mata uang Hindia Belanda, dapat dikatakan beredar merata di luar Pulau Jawa.

Selanjutnya terjadi pembagian hak penerbitan uang kertas dan logam antara Javasche Bank dan Departeman Keuangan (Departement van Financiën) yang berlaku hingga pemerintahan RI (Orde Lama). Alhasil Departemen Keuangan menerbitkan uang kertas pecahan kecil (dibawah 5 Gulden) pada tahun 1919, 1920, 1940, dan 1943. Penerbitan uang kertas Javasche Bank bercirikan gambar gedung JB dan logo JB tampaknya sebagai persiapan memperingati 100 tahun JB (1828–1928). Terbitan tahun 1925 (seri Coen) tidak luput dari pemalsuan karena kemajuan teknologi percetakan.

Menjelang Perang Dunia II terjadi perubahan kebijakan politik Belanda, dimana lambang kolonial digantikan dengan unsur-unsur corak pribumi. Penerbitan uang kertas Javasche Bank 1934 (seri Wayang) merupakan puncak hasil karya cetak kolonialisme sehingga dianggap uang kertas terbagus diantara semua uang kertas.


JAMAN PEMERINTAHAN JEPANG 1942-1945

Masa yang singkat ini hanya mengenal uang kertas saja sebagai alat pembayaran. Uang logam pendudukan khusus tidak beredar. Sebelum pendudukan, uang kertas terbitan pertama yang dikenal “Uang Pohon Pisang” (1942) telah dipersiapkan di Jepang dan diedarkan oleh bala tentara Angkatan Laut Jepang (kaigun). Oleh karenanya dikenal istilah “Uang Penyerbuan Jepang” (Japanese Invasion Money=JIM) oleh bangsa Barat. Setelah “Uang Pohon Pisang” dirasakan cukup berperan sebagai uang peralihan, Jepang menerbitkan uang kertas bercorak alam dan budaya Indonesia sebagai bagian propaganda. Uang ini dikenal sebagai uang wayang atau Gatotkaca. Jumlah pencetakannya yang besar menyebabkan inflasi. Menjelang kejatuhan jepang, beredar uang kertas Pemerintah Dai Nippon yang bercorak sama dengan uang Jepang di Malaya. Pecahan terbesar (1000 Roepiah) yang bercorak sama pula dengan uang Malaya tidak sempat beredar karena bersamaan dengan kekalahan Jepang tahun 1945. Pada masa perang dunia (1939-1945) pihak Belanda dan Jepang mengeluarkan uang kertas tahanan perang (kamp) di Jawa dan Sumatera (Allasvallei, Tjimahi, Tjideng, dan lain-lain) yang mirip dengan tanda terima/karcis.


PEMERINTAHAN RI 1945-sekarang 

Kembalinya kekuasaan pemerintah Hindia Belanda (NICA) tahun 1945 sempat mendahului penerbitan uang kertas RI (ORI) dengan mengedarkan uang kertas “Uang NICA (uang merah) 1943” yang berkelanjutan dengan perebutan daerah dan tarik menarik peredaran antara Belanda vs Indonesia. Sementara itu, Belanda (NICA) juga memberlakukan uang kertas NICA 1943, Javasche Bank Pra-Perang Dunia II dan Federal 1946 yang dilegalisir dengan cap-cap khusus di Guinea Baru Belanda (Papua dan Papua Barat) sebelum mengeluarkan terbitan khusus Nederland Nieuw Guinea 1950 dan 1954.

Pada masa revolusi (1945-1949), uang RI yang dikenal sebagai “Oeang Repoeblik Indonesia/ORI, URI, Uang Putih” terlambat beredar (1946), mengalami masa paling sulit karena keadaan ekonomi dan politik pada waktu itu. Proses pencetakan, pengiriman, dan pengedarannya sangat genting dan tidak menentu. Pemerintah RI sempat mengeluarkan 3 (tiga) kali uang kertas (ORI/URI) 1945-1948 (satu diantaranya keluaran militer). Uang kertas darurat RI (ORI) ini hanya sempat beredar di Jawa-Madura dan Lampung dikarenakan transportasi yang sulit. ORI lainnya sempat dicetak di Amerika Serikat (Security Banknote Company) tapi sistuasi tidak memungkinkan untuk pengangkutan. Selain perang saraf dengan Belanda, peredaran ORI menghadapi masalah inflasi ditambah pemalsuan yang tidak sedikit.

Pada akhirnya menjelang pengakuan kedaulatan RI (1949) dipersiapkan reformasi keuangan berupa “Uang Republik Indonesia Baru” (URIBA) 1949 namun tampaknya tidak berjalan lancar.
Penerbitan uang darurat daerah merupakan satu-satunya jalan keluar sebagai pengganti uang pusat (ORI/URI). Faktor keuangan, politik, dan lainnya menyebabkan berbagai daerah-daerah di Jawa dan Sumatera (sebagian besar di sumatera Utara) mengeluarkan uang kertas sendiri. Dari tingkat daerah gerilya s.d. propinsi dan memakai nama yang berbeda-beda (bon, surat, penerimaan, cheque, dan lain-lain) namun berfungsi sama sebagai alat pembayaran.

Antara tahun 1948-1960-an, Kelompok Tandingan/Separatis (FDR Grobogan, NII Tjirebon, RMS, PRRI, PRRI/Permesta, RII Bagian Timur, dan lain-lain) mengeluarkan uang kertas lokal yang dicap/ditandatangani di atas uang terbitan jaman Belanda, Jepang, dan Republik Indonesia maupun cetakan sendiri (lokal dan luar negeri).

Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) 1950 yang berumur kurang dari satu tahun hanya mengeluarkan uang kertas pecahan kecil (Rp5 dan Rp10) meskipun pecahan lain telah dicetak sebagai percobaan.

Selanjutnya Departemen Keuangan RI masih berpedoman pada Undang-undang Jaman Belanda, mengeluarkan pecahan kecil pada tahun 1951, 1953, 1954, 1956, 1960, 1961 dan 1964 berbeda dengan terbitan masa revolusi fisik (1945-1948) meliputi semua pecahan besar dan kecil.

Beraneka ragam uang terbitan Bank Indonesia:
Tahun Tema
1952 Pahlawan dan Kebudayaan
1957 Hewan
1958 Pekerjaan Tangan I
1959 Flora dan Fauna
1960 Soekarno
1961 Borneo (kenyataan tidak beredar di Borneo Utara, Sabah, dan Serawak)
1964 Dwikora
1964 Pekerjaan Tangan II
1968 Soedirman (memakai benang pengaman pertama kali)
1975 Diponegoro, Borobudur
1977 Flora-Fauna
1979 Gamelan
1980 Pahlawan dan Kebudayaan
1982 Flora
1984 Fauna (dikenal sebagai uang merah di Irian Barat)
1985-1987 Pahlawan
1986 Pahlawan
1987 Fauna
1992 Spesifik Daerah
1993 Tokoh
1995 Fauna dan Tokoh
1998-2009 Pahlawan Nasional 

Pada waktu yang hampir bersamaan, dikeluarkan uang kertas dan logam terbitan khusus berlaku di Irian Barat dan Kepulauan Riau karena keadaan politik dan ekonomi yang amat berbeda dengan daerah-daerah lainnya.
Read More

Media Informasi Terbaru

Blogger Templates

G - Movie Information

Total Tayangan Halaman